Dua hari ini, saya diskusi di sebuah sekolah yang sudah berusia 20 tahun di Jawa. Semua jenjang ada di sekolah ini. Mulai dari level PAUD hingga SMA. Diskusi dengan pimpinan sekolah dan Yayasan terkait happiness dalam pendidikan. Sebuah konsep pendidikan yang peduli pada kbutuhan dasar anak dan tahapan perkembangan anak. Dalam konsep yang kami bawa ini, kami meyakini bahwa reward dan punishment bukanlah cara yang efektif untuk mendisplinkan anak, bahkan kami memandang bahwa cara ini cenderung destruktif bagi jiwa anak.
Lalu pendekatan apa dalam upaya mendisplinkananak? Kami percaya bahwa love and reason adalah cara terbaik agar anak mampu disiplin dan bertanggung jawab pada perilaku yang dibuatnya. Cara ini bukan berarti mendiamkan kesalahan yang dibuat oleh anak, tapi mengajak dialog dan mengajak berpikir apa yang perlu dilakukan ketika anak merusak aturan yang disepakati bersama. Saya tidak akan menuliskan ini di sini
Saya ingin menceritakan proses diskusi pagi tadi hingga sore ini. Ada yang menggelitik pertanyaan dari peserta, “Ok, kami percaya itu, tapi lalu selanjutnya bagaimana? karena kami belum tahu caranya bagaimana mendisplinkan siswa tanpa reward dan punishment”
Ini jawaban saya terkait kondisi itu
“Memberi hukuman akan tetap lebih baik daripada membiarkan kesalahan, tapi tetap lebih buruk dibandingkan dengan cara memberi cinta, alasan dan tanggung jawab. Maka, ketika akan memberi hukuman, ini beberapa catatan yang perlu diperhatikan :
1. Lakukan tanpa melibatkan luapan kemarahan. Kemarahan hanya membuka masuknya pintu-pintu setan
2. Lakukan dengan tidak menimbulkan luka jiwanya
3. Lakukan dengan tidak menimbulkan luka fisiknya.
4. Jangan lakukan di depan umum
5. Berwudhu dan shalat terlebih dahulu jika kita merasa punya amarah ketika akan menghukum.
Amarah tidak akan menyelesaikan masalah. “
Kereta Singasari Ngawi – Purwokerto, 12 Januari 2022 #BabahAca #HumanCenteredEducation #Merdekabelajar #EduproIndonesia
Keren
MasyaAllah.. ilmu baru.. terimakasih