Di beberapa tempat ketika mengisi tentang Human Centered Education, saya menyampaikan bahwa tidak masalah anak merasakan marah. Lalu, sering pula muncul pertanyaan, “Lalu bagaimana dengan hadist Laa tahdhob walakal jannah? ” Janganlah marah, bagimu syurga. Hadist ini sering disampaikan guru ketika siswa marah pada temannya.
Saya ingin mendudukkan hal ini dengan proporsional. Hadist ini perkataan rasul, dan pasti apa yang diucapkan rasul adalah kebenaran. Yang menjadi masalah adalah apakah kita menggunakan di kondisi yang tepat?
Di pembelajaran yang saya dapat dari Bu Ery dan Bu Agustina Untari, bahwa perasaan apapun yang ada dalam diri kita harusnya tidak diingkari atau tidak dilarang jika kita merasakannya. Perasaan itu berbeda dengan perilaku. Memiliki perasaan marah belum tentu perilakunya menunjukkan kemarahan. Melarang perasaan yang muncul adalah respon reaktif. Respon reaktif bukanlah respon yang bisa dikontrol. Tapi, mengakui perasaan yang muncul dan kemudian meregulasi perasaan adalah cara agar perilaku yang muncul menjadi lebih terkontrol dan positif. Apakah kemudian kita menyampaikan pada lawan bicara kita atau tidak itu adalah pilihan. Tapi yang penting adalah bagaimana kita mengelola perasaan itu.
Emosi itu perlu dikuasai, bukan menguasi kita. Dari banyak literatur menyampaikan bahwa ketika emosi tidak dikuasai, maka hidup manusia menjadi tidak seimbang. Menguasai emosi juga disebut dengan regulasi emosi. Di buku Tarbiyatul Aulad karya Abdullah Nasih Ulwan, disampaikan jika seorang orang tua ingin menghukum anaknya maka tidak boleh dengan emosi agar tidak menyakiti anak baik fisik maupun psikologis. Nasih Ulwan menyandarkan ini pada kisah Ali bin Abi Thalib ini.
Dalam sebuah riwayat dikatakan, ketika itu dalam sebuah peperangan, Ali Bin Abi Thalib hendak memenggal kepala musuh.Kemudian musuh tersebut meludahi Ali Bin Abi Thalib sehingga mengenai pipinya.Tadinya, Ali Bin Abi Thalib hendak memenggal musuh tersebut, namun urung memenggal kepala musuh akibat diludahi.Lalu si musuh bertanya kepada Ali, “Wahai Ali, kenapa engkau tidak jadi memenggal kepalaku?”.Setelah itu, Ali pun menjawab, “Ketika aku menjatuhkanmu, aku ingin membunuhmu karena Allah. Akan tetapi ketika engkau meludahiku, maka niatku membunuhmu karena marahku kepadamu,” kata Ali.
Menurut Nasih Ulwan, untuk urusan dengan orang jelas-jelas memusuhi Islam saja Ali berhati-hati. Apalagi jika urusan kemarahan itu pada anak atau keluarga. Mengakui perasaan yang muncul adalah hal yang wajib sebelum kemudian kita mampu meregulasi emosi kita. Responsif bukan reaktif akan memunculkan perilaku yang tepat.